Carita Kasabta di Bumi Indrakila
Konon para pertapa memantabkan hati untuk besemedi di pertapaan indrakila. Berbagai wejangan dikiaskan oleh para begawan dan punggawanya. Kanuragan dan kedigdayaan diajarkannya sebagai kunci dan bekal. Semua akan bermuara pada pertapa yang haus akan ilmu untuk disebar ke penjuru nusantara. Tiba saatnya para pertapa mengembara, tak lupa Begawan dan para punggawa membekalinya. Pusaka Carita kasapta dan selendang mayang amarta diberikannya. Panji Amarta Indrakila harus terus berkibar di angkasa raya.
Carita Kasabta (pusaka pertapa laki-laki yang disebut juga “manguyu”) merupakan keris berluk Tujuh, sesuai jumlah para pertapa dan mempunyai filosofi Pitu merupakan lambang manusia yang mencari tameng supaya tidak tergelincir kedalam perbuatan dosa. Dan selalu mendapatkan pertolongan yang mahakuasa. Pitu merupakan simbul pitakon, pitutur, pitulung. Nasehat ini merupakan pegangan hati untuk para pertapa. Selendang mayang amarta merupakan pusaka para “ubwan” (pertapa perempuan) pusaka tersebut mengandung arti sosok ibu yang mampu mengayomi, menggendong putra putrinya agar selalu dalam asuhannya. Tiba saatnya para manguyu dan ubwan berpamitan. Pataka Amarta Indrakila dikibarkan. Wejang alit sang begawan diucapkan. Punggawa memberikan “Tirta Amarta” dan gabah indrakila sebagai bekal melanglangbuana. Sucikan diri dan teguhkan iman sebagai kunci mencari jatidiri. Diperjalan banyak godaan dan tantangan yang harus diselesaikan. Dari panasnya matahari dan lebatnya hujan. Para pertapa tak pernah gentar melewatinya. Dengan segala upaya menyelesaikan tantangan dan rintangan yang ada didepan mata.
Diperjalanan melihat begitu melimpahnya hasil bumi. takjub dan ucap syukur untuk sang maha pencipta. Tiba-tiba sang penguasa langit memberi isyarat cahaya kilat merah dan memutih di ujungnya. Pertanda apa gerangan. Semoga itu suara menyambut para pertapa. Di depan mata raksasa hijau tinggi menjulang menghalangi mata untuk menapaki. Namun para pertapa menetapkan hati untuk melanjutkan perjalanan suci. Arah barat sujud berpeluh menaruh harap pertapa melewati punggung raksasa yang hampir murka. Tatapkan tekat yakinkan hati untuk terus melewati.
Panji Amarta Indrakila dikawal para Punggawa meyakinkan Satria sakti mandraguna menapaki kaki langit yang menjulang. Napas mulai tersengal saat bebatuan cadas mengiris barisan kaki. Namun hijaunya hamparan padi menenangkan hati. Sesaat kemudian sautan suara rimba raya menggambarkan betapa besarnya karya sang penguasa. Kecil rasanya hati ini. Manusia seringkali memiliki sifat “adigang adigunng adiguno” mampukah kami memperbaiki?
manusia hendaknya tidak mengandalkan dan menyombongkan kelebihan yang dia miliki. Ciut rasa nyali ini. Namun tetapkan hati terus melawati punggung raksasa yang konon “Buto Ijo” akan kalah dengan pertapa indrakila yang gagah perkasa. Disaat lelah para pertapa membasahi tenggorokannya dengan Tirta Amarta Indrakila yan dibawanya. Sesaat kemudian tentara langit siap melepaskam anak panah untuk menyerang para pertapa dan gelegar suara Buto ijo memperingatkan para pertapa segera berpindah dan menghentikan keluh kesahnya. Serentak berdiri mengangkat kaki dan menyelesaikan misi. Dengan sisa tenaga yang dimiliki para pertapa melewati lebatnya hutan bambu dan kerasnya jalan berbatu. Dari kejauhan gerbang desa mulai terlihat. Hati rasanya lega berbunga indah. Tiba-tiba suara keras terdengar jelas keluar dari Punggawa Indrakila. ” pasang tameng agar terhindar dari serangan anak panah dari tentara langit yang tiba-tiba”. Ucap syukur para pertapa selamat dari angkara murka. Kaki mulai letih, badan mulai menggigil.
Namun kami harus terus berjalan melewati perkampungan meski harus mengindahkan godaan di tengah perjalanan. Diujung cahaya langit pertapa melihat cermin gerbang “Panubwanan” (palungguhan begawan) sepertinya perjalanan akan sampai dan bermuara pada goa indrakila. Betapa bahagia para pertapa pada akhirnya dapat menyesaikan setiap tantangan dalam pengebaraannya. Semerbak cendana menyambut pertapa merengkuh bahagia di mulut goa indrakila. Dan sedikit wedang jahe para dayang indrakila menyambutnya. Keberhasilan para pertapa tak luput dari doa para begawan indrakila.
Sudah saatnya para pertapa mendapatkan “jimat” dan serat Nawasena (ijazah)
Tibalah saatnya para begawan melepas kembali para pertapa indrakila menuju ke segala penjuru untuk mengamalkan ilmu. Cucuran armata tak terbendung lagi. Ini pelukan kasih sayang dan rasa hormat setinggi-tingginya untuk para pertapa. Semoga ini menjadikan mimpi bahagia dan kelak kita akan berjumpa.